Fakta Unik Antara NU dan Muhammadiyah
Di era sekarang, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memiliki peran signifikan dalam politik dan budaya di Indonesia. Dalam politik, NU cenderung lebih dekat dengan pemerintahan, dengan banyak tokoh-tokohnya terlibat dalam kebijakan negara, baik melalui partai politik seperti PKB maupun melalui jalur birokrasi. Sementara itu, Muhammadiyah lebih memilih untuk menjaga jarak dari politik praktis dan fokus pada gerakan moral serta advokasi kebijakan publik yang berbasis nilai Islam dan kemanusiaan. Namun, kedua organisasi ini tetap memiliki pengaruh kuat dalam dinamika politik nasional, terutama dalam isu-isu yang menyangkut keislaman dan kebangsaan.
Di bidang budaya, NU dikenal dengan pendekatan Islam yang lebih akomodatif terhadap tradisi lokal, seperti tahlilan, maulid, dan berbagai praktik keagamaan berbasis budaya yang berkembang di masyarakat. NU juga aktif dalam seni dan budaya Islam Nusantara sebagai bagian dari dakwahnya. Di sisi lain, Muhammadiyah lebih berorientasi pada pemurnian ajaran Islam, meskipun kini semakin terbuka terhadap budaya selama tidak bertentangan dengan syariat. Keduanya turut berkontribusi dalam pengembangan literasi Islam melalui pendidikan, media, dan lembaga dakwah modern.
Baik NU maupun Muhammadiyah memiliki peran besar dalam mengokohkan moderasi Islam di Indonesia. Di tengah tantangan globalisasi dan radikalisme, kedua organisasi ini berusaha menjaga keseimbangan antara ajaran Islam dan kebangsaan. NU dengan gagasan "Islam Nusantara" menekankan Islam yang toleran dan berbasis kearifan lokal, sementara Muhammadiyah dengan konsep "Islam Berkemajuan" berfokus pada modernisasi dan penguatan peradaban Islam berbasis ilmu pengetahuan. Keduanya menjadi pilar utama dalam menjaga harmoni sosial dan keberagaman di Indonesia.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari kegelisahan yang sama tentang bagaimana Islam dapat membimbing umat tanpa kehilangan akar budaya dan jati diri.
- Muhammadiyah, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, lebih menekankan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, serta mengedepankan modernisasi dalam pendidikan dan sosial.
- Nahdlatul Ulama (NU), didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926, lebih menekankan pada pendekatan Islam yang berbasis tradisi (Ahlussunnah wal Jamaah) dengan tetap mempertahankan unsur budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Keduanya berusaha menjawab tantangan zaman dengan cara masing-masing, namun tetap memiliki tujuan yang sama: membimbing umat agar tetap berpegang pada ajaran Islam tanpa tercerabut dari akar budaya dan jati diri mereka.
Titik Temu
Silsilah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bertemu pada kakek yang sama, yaitu Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishak. Beliau adalah kakek dari KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU).
Melalui jalur silsilah ini, kedua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut terhubung.
Selain memiliki kesamaan leluhur, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari juga memiliki kesamaan guru, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah.
baca juga : Cara Tepat Menyikapi Pluralitas Budaya Bangsa Indonesia
Terkait penggunaan pengeras suara di masjid Muhammadiyah, memang benar bahwa Muhammadiyah memiliki pedoman yang lebih ketat mengenai penggunaannya. Pengeras suara luar masjid umumnya hanya digunakan untuk adzan, sementara pengajian, ceramah, dan sholat berjamaah menggunakan pengeras suara dalam untuk menjaga ketertiban dan menghindari gangguan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini sesuai dengan tuntunan Muhammadiyah yang menekankan efisiensi dan kenyamanan dalam beribadah.