Hibisc Fantasy Puncak: Sempat Viral, Kini Auto Bubar!
Halo, bro & sis yang peduli lingkungan dan tata kota! Kalian pasti sering lihat kan, spot wisata baru bermunculan di Puncak, Bogor? Kebanyakan sih emang aesthetic dan instagrammable. Tapi, tahu nggak sih kalau di balik gemerlapnya, ada juga yang bermasalah? Salah satunya, Hibisc Fantasy Puncak, yang dulunya sempat hits, tapi kini malah jadi pelajaran berharga soal compliance dan kelestarian lingkungan.
Beberapa waktu lalu, berita pembongkaran Hibisc Fantasy Puncak viral banget. Ini bukan cuma soal bangunan yang dirobohkan, tapi juga drama panjang antara pengelola (anak perusahaan BUMD Jabar, PT Jaswita Lestari Jaya/JLJ, bekerja sama dengan PTPN VIII) dengan Pemerintah Kabupaten Bogor. Ternyata, banyak banget aturan yang dilanggar! Yuk, kita bedah kronologinya biar nggak cuma tahu viralnya, tapi juga paham root cause-nya.
Awal Mula Masalah: Izin "Mungil", Bangunan "Raksasa"
Jadi gini, Hibisc Fantasy Puncak ini dikelola sama PT JLJ, yang 70% sahamnya milik PT Jaswita (BUMD Pemprov Jabar). Lokasinya di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.
Pangkal masalahnya? Luasan bangunan! Menurut Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Teuku Mulya, izin PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) yang mereka kasih ke PT Jaswita-KSO PTPN itu cuma untuk bangunan seluas 4.138 meter persegi di lahan perkebunan teh Gunung Mas.
Faktanya di lapangan? Hibisc Fantasy Puncak justru punya puluhan bangunan dengan total luas mencapai 21.000 meter persegi! Coba bayangin, ini udah melanggar sekitar 16.900 meter persegi dari izin yang diberikan. Gila, kan? Ini yang bikin Pemkab Bogor geram. "Mereka itu tidak pernah mengindahkan apa yang sudah kita tegur," kata Teuku Mulya, geram. Ibaratnya, udah dikasih lampu kuning, malah terus tancap gas.
Bukan Cuma Luas, Aspek Lingkungan Juga Diabaikan!
Nggak cuma masalah luasan bangunan, Pemkab Bogor juga menekankan soal aspek lingkungan. Dalam PBG yang diterbitkan, Hibisc Fantasy diwajibkan untuk membangun fasilitas ramah lingkungan (green house), lengkap dengan resapan air, sumur biopori, hingga sumur resapan.
Kenyataannya? Menurut Teuku Mulya, dari awal PT Jaswita (induk JLJ) nggak mengindahkan rambu-rambu ini. Ini penting banget lho, apalagi Puncak itu kan area resapan air dan paru-paru buat Jakarta. Kalau pembangunan nggak ramah lingkungan, bisa memperparah masalah banjir dan longsor.
Fakta Terbaru: Isu keberlanjutan dan dampak lingkungan dari pariwisata jadi sorotan global. Menurut laporan World Travel & Tourism Council (WTTC) 2024, semakin banyak wisatawan (khususnya gen Z) yang mencari destinasi dan akomodasi yang punya komitmen kuat terhadap kelestarian lingkungan. Jadi, kalau ada developer yang ngabaikan ini, jelas bakal kena sentil.
Drama Surat Teguran, Penyegelan, Hingga Akhirnya Dibongkar!
Karena "bandel"nya pengelola, Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Bogor sampai harus berkali-kali melayangkan surat teguran sejak Agustus 2024. Puncaknya, mereka sampai melakukan penyegelan dua kali bersama Satpol PP Kabupaten Bogor, terakhir pada Desember 2024.
"Dasar bandel, bangun lagi, bangun lagi. Sampailah kita menyegel dua kali... Saat itu kita nggak tahu mereka sudah buka, akhirnya kita segel bangunan yang tidak berizin," ungkap Teuku Mulya. Ini nunjukkin gimana power pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
PTPN & Jaswita Angkat Bicara: "Kami Introspeksi!"
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Mohammad Abdul Ghani, juga ikut berkomentar. Dia bilang, pihaknya udah nurunin dua tim buat meninjau masalah ini, termasuk soal tata kelola penunjukan mitra dan proses bisnisnya.
Gani juga mengakui bahwa awalnya mereka memberi izin sekitar 5.000 meter, tapi seiring waktu, penambahannya memang nggak sesuai. Dia menekankan ada tiga poin penting yang dilanggar:
- Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan): Ini krusial banget buat memastikan pembangunan nggak merusak lingkungan.
- Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) & Koefisien Dasar Bangunan (KDB): PTPN itu cuma boleh mengubah kawasan maksimum 6% dari total luas lahannya. Sementara itu, KDB yang ideal itu sekitar 30%, artinya 70% lahan harus jadi area resapan air. Pelanggaran KDB ini jelas bisa bikin daya serap tanah berkurang dan memicu masalah air.
"Ini masalah pelanggaran terhadap aturan. Jadi kami dengan pengalaman ini, kami menjadi introspeksi untuk melakukan perbaikan," kata Gani. Semoga beneran jadi pelajaran ya!
Di sisi lain, Direktur PT Jaswita Jabar, Wahyu Nugroho, juga bilang kalau mereka udah ngasih peringatan ke anak usahanya, JLJ, buat patuh aturan sejak isu Hibisc Fantasy muncul di 2024. "Pada prinsipnya, Jaswita Jabar akan menindaklanjuti arahan Pak Gubernur dengan memperingatkan anak perusahaan," tegasnya.
Pembongkaran Jadi Solusi Demi Lingkungan!
Akhirnya, Gubernur Jawa Barat (pada saat itu) Dedi Mulyadi memutuskan untuk membongkar Hibisc Fantasy Puncak demi kemaslahatan umum. Harapannya, pembongkaran ini bisa selesai sebelum Lebaran tiba (kalau mengacu pada pernyataan di bulan Maret).
Kasus Hibisc Fantasy ini jadi pelajaran berharga buat kita semua. Pariwisata memang penting buat ekonomi, tapi kelestarian lingkungan dan kepatuhan terhadap aturan itu jauh lebih penting. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, kita mengorbankan alam dan masa depan.
Bagaimana menurut kalian, apa yang harus dilakukan pemerintah agar kasus serupa nggak terulang lagi di masa depan? Yuk, diskusi di kolom komentar!